PENGABDIAN SANG GURU


Karanganyar- tanggal 13 Desember 2021, Saat matahari sedang bersinar sangat terik tim literasi keberagaman SMA Negeri Kerjo sampai di Amerta Santi untuk melakukan wawancara dengan Pak Rawi. Pak Rawi adalah guru Agama Hindu di SMAN Kerjo sekaligus pemuka Agama Hindu di Sambirejo, Ngadirejo, Mojogedang, Karanganyar.
I Nengah Rawinantara atau akrab dipanggil Pak Rawi merupakan pendatang dari Pulau Bali yang lahir di Pulau Lombok. “Saya bisa sampai ke Pulau Jawa karena panggilan kedinasan, yaitu untuk mendidik anak-anak SD, tepatnya di SD Negeri Kwadungan 2. Karena anak-anak di SD Negeri Kwadungan 2 pada saat itu membutuhkan guru Pendidikan Agama Hindu. Saat itu guru Agama Hindu belum ada.” ucap pak Rawi.
Menurut Pak Rawi, tidak ada tantangan hidup yang berat saat tinggal di Jawa. “Bagi saya tidak. Karena bukan masalah minoritas ataupun mayoritas, yang jelas tinggal kita memahami arti kita menghadapi suatu hal baik di dalam pendidikan maupun di dalam masyarakat. Arti minoritas dan mayoritas itu sebenarnya tidak begitu mempengaruhi bagi saya secara pribadi untuk mendidik anak-anak. Yang jelas semangat dari anak-anak untuk mengikuti pendidkan agama Hindu sendiri, sebab di ajaran agama Hindu mempunyai kerangka dasar dalam hidup beragama yang harus dipahami, yaitu ada 3.” Ucap pak Rawi
“Yang pertama generasi itu harus cerdas. Makanya di Hindu itu diberikan pendidikan tatwa atau filsafat atau pengetahuan. Yang kedua adalah susila. Susila adalah tingkah laku, sikap, bagaimana kita bersikap dalam kehidupan sehari-hari, baik dengan siapa saja, hubungan kita dengan sesama, kehidupan itu adalah yang terpenting bagi kita sebab di mata Tuhan kehidupan itu adalah sama, cuma porsi atau kelahiran kita yang berbeda-beda. Kemudian yang ketiga adalah upakara. Upakara adalah pengorbanan, rasa terimakasih kepada Tuhan yang telah menciptakan kita lahir ke dunia ini melewati seorang ayah dan ibu, sehingga kita diajarkan untuk berterima kasih kepada yang menciptakan kita baik yang dilewati maupun Tuhan itu sendiri.” Tambah pak Rawi.
Ada kisah menarik dari silsilah keluarga Pak Rawi . “Saat itu dari mbah kami merantau ke Lombok, mengikuti jejak raja Anak Agung Karangasem (dulu yang mendirikan kerajaan Selaparang di Lombok). Kemudian mbah kami mengikuti kisah beliau tinggal di Mataram, posisi yang tepat adalah di Kelurahan Cakranegara.” Ucap pak Rawi.
Pak Rawi mengajar jadi guru Pendidikan Agama Hindu di SMAN Kerjo mulai tahun 2014. “Tantangan yang saya hadapi di SMAN Kerjo untuk mendidik anak-anak Hindu adalah semangat anak-anak untuk mengikuti pendidikan agama. Karena mungkin pendidikan agama di saat-saat sekarang itu dianggap hanya sebagai penunjang ilmu yang lain. Sebenarnya pendidikan agama itu adalah mata pelajaran yang paling utama sebab di sana mengandung sikap-sikap di hidup kita untuk membangkitkan rasa kepercayaan diri untuk mengikuti/menjalani suatu hal yang harus ditempuh pada saat masa-masa pendidikan.” Ujar Pak Rawi.
Saat ini Pak Rawi sedang membangun rumah ibadah umat Hindu, yaitu pura. “Kalau tantangan dalam membangun itu menurut saya di tekniknya saja. Yang perlu kita sampaikan atau yang kita sosialisasikan kepada umat yaitu bagaimana kita membangun tempat suci itu adalah rumah Tuhan, pendekatan kita atau rasa kita untuk mengabdi/berbakti kepada Tuhan lewat pembangunan tempat suci. Tantangannya kami anggap tantangan yang kecil saja, yang secara garis besarnya tidak ada, berjalan dengan baik sesuai dengan target pembangunan ini sendiri.” Ucap pak Rawi.
Pura tersbut diberi nama Amerta Santi. Mengapa diberi nama demikian? “Karena mengandung filsafat yang sangat dalam bagi umat di lingkungan Dusun Sambirejo, Desa Ngadirejo khhusnya dan umat sekitarnya. Amerta artinya tirta, Santi artinya damai. Harapan kita dari umat atau keluarga amerta santi itu adalah hendaknya nanti air kesucian itu mengalir untuk mendamaikan hati kita masing-masing. Tidak ada satu hal yang akan menjadikan miss komunikasi dengan hubungan masyarakat. Itu inti dari pembangunan pura Amerta Santi, harapannya adalah dapat menumbuhkan generasi Hindu yang dapat berbaur dengan semua kehidupan masyarakat. Jadi tidak hanya Hindu saja yang memiliki pura ini, tetapi semua masyarakat yang ada di lingkungan ini. Itu harapan kami, makanya diberi nama Amerta Santi. Air kehidupan yang mendamiakan hati setiap orang yang merasakan,menikmati,memandang tempat suci ini.” Jelas pak Rawi.
Dalam pembangunan pura ini, masyarakat sekitar juga turut membantu dalam pembangunan. “Yang utama adalah umat dulu agar mereka memahami arti pembangunan tempat suci, mestinya ikut bersama-sama merasa memiliki rumah Tuhan ini sehingga mereka wajib meluangkan waktu untuk membantu kelancaran pembangunan tempat suci ini. Kemudian untuk masyarakat juga kita libatkan,tukang yang ada saaat ini adalah bukan dari umat Hindu,tetapi adalah saudara kita dari umat Muslim yang kita beri pemahaman “Oh Hindu itu begini” dan juga dari sudut pandangan nya itu hindu itu banyak berpegang pada simbol-simbol yang ada di tmpat suci ini,seperti patung, kadang-kadang salah pemahaman bahwa hindu itu adalah untuk menyembah patung. Hindu itu memakai simbol, simbol itu ada artinya sendiri-sendiri.
“Kalau masalah toleransi sampai saat ini tidak ada gesekan-gesekan atau penolakan-penolakan pembangunan tempat suci ini. Sebaliknya, malahan masyarakat di lingkungan ini dan juga sebagian masyarakat dari luar merasakan adanya pura Amerta Santi ini adalah aset Dusun sampai ke Desa yang akan memberikan huungan timbal balik secara toleransi. Jadi tidak ada hal-hal yang timbul dari masyarakat baik itu dari masyarakat Muslim, Kristen, maupun ynag lain. Karena di lingkungan pura Amerta Santi juga banyak keyakinan yang ada di sekelilingnya. Ada dari Lddi, Mta, Nu, Muhammadiyah, Hindu, Nasrani, dan sebagainya. Jadi semuanya saling membantu, saling bertolransi, rukun, tanpa ada gesekan yang membuat kita saling bermusuhan.” Ujar pak Rawi.
“Dalam pelaksanaan upacara,kalau pura Amerta Santi pelaksanaan upacaranya dinamakan piodalan atau wetonan (kalau manusia itu wetonan) dilaksanakan setiap satu tahun sekali yaitu di bulan April, tepatnya 25 hari setelah hari raya Nyepi, yaitu pada saat pensucian tempat suci ini, atau namanya pemelaspasan, tidak kita ambil dari mulai pembangunannya, tetapi saat pensucian tempat suci ini. Seperti sekarang, sedang dibangun, nanti kalau sudah selesai pembangunnanya, nanti kita sucikan lagi, di plas-plas lagi,karena tempat ini di dalam ajaran agama Hindu sudah dianggap kotor lagi atau letah lagi, karena barang-barang yang masuk itu adalah barang-barang dari bermacam-macam asalnya, contohnya pasir, pasir itu dari sungai, dan di sungai bermacam-macaam kotoran. Kemudian batu-bata, batu-bata itu terbuat dari tanah, kita nggak tahu tanah itu bercampur apa. Segala sesuatu yang masuk (material bangunan) itu dianggap sudah mengotori lingkungan tempat suci ini.” Ucap pak Rawi.
Mengenai modalan atau pancarawan dari pura tadi, saya seempat mengetahui informasi, setiap modalan pura ini selalu menyembalih hewan babi, itu bagaimana tanggapan masyarakat dan toleransi masyarakat antara warga dengan yang lain?
“Jadi itu memang sedikit ada perbedaan dari saudara kita Muslim bahwa babi itu tidak diperbolehkan/diharamkan. Tapi bagi umat Hindu, babi tidak diharamkan. Kita memposisikan mereka itu dengan tidak mecampuradukkan keyakinan mereka dengan keyakinan kita. Jadi diposisikan sendiri-sendiri. Sebab di Hindu juga sudah di beri pengertian di dalam kitab suci , yaitu: siapapun yang membohongi umat lain dengan cara tidak benar, dosanya lebih bsar daripada mencuri.”
Artinya, kalau kita memberikan suguhan bercampur deengan makanan yang tidak seharusnya dinikmati oleh saudara lain yang tidak boleh menikmati itu adalah lebih besar dosanya daripada mencuri. Dengan demikian dari kita (umat Hindu) betul-betul menempatkan saudara kita, kita juga memberikan penjelasan, contohnya: ini adalah makanan halal, atau di Hindu artinya sukla. Bukan hanya makanan saja, barang-barang untuk mengolah itu juga disendirikan. Orang yang mengolah juga kita sendirikan. Jadi kita tidak mencampuradukkan kondisi makanan yang boleh dengan tidak itu kita jadikan satu. Karena sudah diberikan pengertian dari kitab suci bahwa hidup kita berbeda, tapi perbedaan itu adalah indah apabila kita bisa memandang perbedaan itu. Sehingga kita betul-betul harus memahami apa hubungan kita antara masyarakat, lingkungan dengan posisi kita di pura.
“Sebagai pembina umat Hindu di pura Amerta Santi ini yaitu dengan adanya pura ini adalah merupakan satu anugrah dari Widi walaupun umat kami sedikit, hanya 20 KK (Kartu Keluarga), tapi bisa membangun pura dengan rasa guyup rukun serta betul-betul memberikan dukungan secara lahir dan batin. Harapannya mudah-mudahan dengan pembangunan pura ini umat Hindu di ligkungan Desa Ngadirejo sadar dan lebih merasakan jati dirinya bahwa Hindu itu adalah ajaran dari Widi yang berdasarkan kitab suci Weda,dsb. Harapan kami adalah lebih meningkat serada umat Amrta Santi untuk meyakini diriny bahwa beragama perlu memahami arti agama itu sendiri, tujuan agama itu sendiri, dan bisa menumbuhkan motivasi dirinya untuk lebih siap melaksanakan pendekatan kepada Widi.” Ujar pak Rawi. (Tim Literasi keberagaman SMAN Kerjo)


Pak Rawi menjelaskan makna simbolis patung/arca.


Tim Liputan : Nico, Bimo, Arya, Eva, Arum

Baca juga

Hei, Jangan Mudah Percaya !!

Hei, Jangan Mudah Percaya adalah tema kegiatan Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila dan Budaya Kerja …